Minggu, 12 Juni 2011

SAYA DAN BNI(Oleh: Yuman Darmansyah)

Ketika pertama kali disodorkan tema “BNI adalah aku”, yang terbayang oleh saya adalah sosok Yuman Darmansyah yang setahun lalu masih berambut gondrong, berpakaian slengekan, dengan janggut dan pipi tirus. Kalau saya diminta menyebutkan tiga kata tentang BNI, maka yang saya pilih adalah pembuka jalan, motivasi dan keluarga.

Pertama, BNI sebagai pembuka jalan. Hidup saya sebelum bergabung dengan BNI tidak bisa dibilang menyedihkan. Sulit iya, tapi sejak kapan hidup itu mudah? Dan siapa yang bilang hidup ini mudah? Saya bukan pengangguran, saya mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap per bulan yang memungkinkan saya untuk membiayai diri sendiri sehari-hari, menyewa kamar kost berukuran 2x3m yang jauh dari kata nyaman, tapi cukup untuk menaungi saya berteduh. Saya masih sanggup membiayai ibu dan ketiga adik saya yang masih duduk di bangku sekolah, dan saya bahkan masih bisa menyisihkan sebagian gaji saya untuk sedikit bersenang-senang. Semuanya bisa di penuhi, walaupun serba sederhana. Namun bukankah kesederhanaan itu begitu indah?

Usia saya ketika itu adalah akhir 25 tahun, beberapa bulan lagi menuju angka 26. Sebagai lelaki normal, saat itu saya sudah mulai memiliki keinginan dan memikirkan untuk mulai hidup berumah tangga. Saya adalah lelaki yang senang dilayani, saya menyukai wanita-wanita yang mengabdi kepada suami dan keluarga. Lama hidup sendiri, jauh dari keluarga, dan terbiasa mengurus segala sesuatu sendiri, sedikit terbersit rasa lelah. Saya ingin didampingi, dilayani dan dirawat oleh seorang istri. Saya yang sangat menyukai anak kecil pun mulai berangan-angan untuk mengasuh dan membesarkan anak saya sendiri.
Impian-impian saya yang sederhana itu, setahun yang lalu, terasa begitu besar untuk saya. Bahkan terkesan terlalu muluk. Rasanya tidak mungkin dapat saya capai dalam waktu dekat ini, mungkin baru 3 atau 4 tahun ke depan saya baru yakin dan siap untuk menjalani sebuah komitmen sebesar pernikahan. Padahal sebetulnya tinggal selangkah lagi saya menuju kesana.

Dengan penghasilan tetap saya saat itu, dan beban tanggungan yang tidak sedikit, saya tidak yakin sanggup untuk membina sebuah rumah tangga dan memberikan kehidupan yang layak untuk istri dan anak-anak saya kelak. Mungkin itu juga yang sedikit banyak ada di benak ayah dan ibu mertua saya kala itu. Walaupun mereka merestui mimpi-mimpi saya dan putrinya untuk segera menikah, tapi mereka tidak membuka jalan untuk menuju kesana. Karena mereka tahu beban tanggungan saya, dan tidak yakin saya akan sanggup menghidupi putri pertama mereka dengan penghasilan saya kala itu.

Mei 2010, saya mendapatkan informasi mengenai lowongan pekerjaan di BNI46 untuk posisi frontliner. Dengan reputasi BNI dan jaminan akan kesejahteraan karyawannya yang telah lama saya dengar, saya pun mendaftar walaupun dengan harapan yang tipis. Dengan latar belakang pendidikan saya yang Diploma 3 dan usia menjelang 26 tahun, rasa persaingan akan berlangsung ketat. Sudah pasti banyak sarjana-sarjana yang lebih muda dan segar juga turut mendaftar. Berbekal doa dari orang-orang terdekat dan ridho Allah SWT, saya mengikuti satu demi satu tahap seleksi. Kemudian lolos dari satu tahap ke tahap selanjutnya, hingga akhirnya dinyatakan berhak mengikuti masa training selama 2 minggu. Tak terkira rasa senang, bangga, dan syukur saya ketika itu. Terlebih melihat kebanggaan yang juga diungkapkan keluarga saya.

Selepas masa training, saya ditempatkan di BNI Cabang Majalaya untuk menjalani masa OJT (On The Job Training) selama 3 bulan. Sedikit demi sedikit saya mulai merasakan perubahan dalam hidup saya. Yang paling terasa adalah peningkatan taraf hidup, dimana saya dapat memberi lebih pada ibu dan adik-adik saya, serta kepercayaan yang mulai ditunjukkan keluarga calon istri saya. Selama masa OJT, mimpi-mimpi untuk segera menikah mulai mewujud sedikit demi sedikit. Pembicaran-pembicaraan mengenai waktu untuk melangsungkan pernikahan mulai dibicarakan dengan lebih serius, hingga akhirnya disepakatilah tanggal 28 November 2010 sebagai hari bahagia itu, tak lama setelah saya di angkat menjadi karyawan tetap BNI.
Kali ini tak ada lagi ragu, saya yakin dan percaya bahwa BNI bisa membantu saya mewujudkan kehidupan yang layak bagi saya dan keluarga. Kini saya telah menikah, dan istri saya tengah mengandung 5 bulan. Mimpi-mimpi yang dulu terasa jauh kini mulai mewujud utuh menunjukkan bentuk nyatanya. Memang masih banyak yang harus saya lakukan dan perjuangkan untuk betul-betul meraih prestasi dan mencapai hasil terbaik bersama BNI. Bagi saya, BNI adalah sebuah awal dan pembuka jalan untuk hidup yang lebih baik.

Kedua, BNI sebagai motivasi untuk mengembangkan diri. Sejak kecil, saya tumbuh di lingkungan keluarga yang jauh dari kata “cukup”. Jangan bayangkan artinya kami hidup berlebih, bahkan seringnya kami malah kekurangan. Sejak kecil saya sudah harus menjadi ekonom handal dengan membagi-bagi uang yang tidak seberapa dengan kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah yang sebagian besar diperoleh dari beasiswa. Bahkan saya sudah harus ikut membantu orang tua mencari nafkah. Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit saya mulai bisa menafkahi diri sendiri dan keluarga sejak saya masih duduk di bangku sekolah. Dari perjalanan tersebut, definisi kata ‘cukup’ untuk saya mungkin sedikit berbeda bagi orang kebanyakan. . Banyak orang mengerutkan kening ketika mengetahui langkah yang saya ambil, contohnya menikah. Berani mengambil komitmen sebesar pernikahan dengan kondisi finansial yang masih menurut banyak orang masih riskan dan belum memungkinkan untuk berumah tangga. Tapi, kondisi saya saat ini, walaupun tidak mewah, tapi sudah cukup membuat saya dan istri merasa nyaman dan bersyukur.

Pekerjaan saya sebelum di BNI tidak menuntut jenjang pendidikan tertentu untuk bisa naik jabatan. Dengan latar belakang pendidikan saya, saya optimis dengan peningkatan karir saya disana. Di BNI, ternyaa apa yang selama ini ‘cukup’ untuk saya, ternyata tidak memungkinkan saya untuk mengembangkan karir. Dibutuhkan lebih dari apa yang saya miliki sekarang ini untuk bisa bertahan dengan turut berkembang bersama BNI. Menyaksikan prestasi, keberhasilan, dan timbal balik yang didapat rekan-rekan kerja saya, saya pun termotivasi untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas diri. Akhirnya, saat ini saya mulai berpikir untuk melanjutkan sekolah lagi. Sesuatu yang setahun lalu masih jauh terselip di benak saya. Saat ini sudah masuk ke jajaran prioritas utama saya. Saya ingin mengembangkan karir di BNI, ingin turut maju dan terus berkembang bersama BNI. Untuk itu, seperti BNI yang juga terus meningkatkan kualitas dari hari ke hari, maka saya pun demikian,
baik dari segi pendidikan formal, maupun pengembangan kepribadian seperti loyalitas pada perusahaan dan pekerjaan.

Yang ketiga, BNI adalah keluarga. Disini saya menemukan dan merasakan bagaimana bekerja dalam lingkungan ‘keluarga’. Maksudnya, saya belajar untuk bekerja secara profesional tanpa mengesampingkan nilai-nilai solidaritas dan kekeluargaan. Sejak lama saya gemar memperhatikan dan menilai lingkungan dan orang-orang di sekitar saya. Di BNI, saya membagi lingkungan pekerjaan menjadi dua bagian. Perbedaan keduanya bisa hanya bisa dilihat jelas berdasarkan jam kerja. Jika dilihat berdasarkan faktor lain, perbedaannya sangat samar dan sulit dilihat. Maksudnya, jika diperhatikan, pada saat jam kerja, sikap dan profesionalitas karyawan terlihat jelas berdasarkan hierarki struktur organisasi perusahaan. Siapa bertindak sebagai atasan, yang bisa menggunakan otoritasnya sesuai prosedur dan tanpa merendahkan karyawan lain di bawahnya. Siapa yang menjadi rekan sejawat, dan bagaimana cara bersikap dan menghargai mereka yang secara hierarki berada di bawah yang lain.

Di sisi lain, pada waktu-waktu tertentu, terkadang sulit bagi saya membedakan mana atasan dan bawahan. Semua terasa seperti rekan sejawat dan seperjuangan. Hanya usia yang membuat saya membedakan cara bicara dan bahasa, demi kepentingan sopan santun. Selebihnya, kami semua sama. Sama-sama karyawan BNI.

Suasana pekerjaan yang nyaman ini yang membuat saya dapat bertahan dengan tekanan pekerjaan yang menuntut konsentrasi dan resiko tinggi. Ini juga yang membuat saya yakin , kesulitan apapun yang saya hadapi, saya tidak akan sendirian. Karena di BNI, saya memiliki keluarga yang senantiasa hadir untuk membantu baik secara materiil ataupun non materiil.
Ini mungkin hanya sebuah tulisan sederhana tentang BNI di mata karyawannya yang belum genap setahun bergabung. Sejujurnya, agak sulit bagi saya mengungkapkan betapa besar peran BNI dalam kehidupan saya setahun terakhir ini dalam bentuk tulisan. Apa yang saya tuangkan dalam opini ini, setelah dibaca berulang kali, rasanya tetap belum cukup menggambarkan arti BNI untuk saya. Tapi, setelah saya pikir, tulisan memang tidak akan pernah cukup menggambarkan apa yang sebenarnya tersimpan di benak saya. Jauh lebih besar dari apa yang tersurat dalam tiga halaman.

2 komentar:

  1. hehehe ini bukti nyata bang, kalo rencana Allah SWT selalu yang terbaik untuk umatnya...

    BalasHapus